Matahari siang ini sepertinya tak akan berhenti melototi makhluk-makhluk bumi keseleruhan. Tentu saja tak sedikit dari mereka mengeluhkan keganasan sang surya yang tak memberikan dispensasi sedikit saja. Bahkan sekadar untuk mereka yang berjalan menunduk sambil mengerutkan dahi menahan sengatannya. Kepulan awan ajaib pun sepertinya tak melirik kasian sedikitpun pada mereka. Setiap jiwa yang kutemui, jangankan bertegur sapa, menoleh dan melirik saja sepertinya enggan. Satu yang pasti ia pikirkan, yaitu cepat sampai tujuan dan bisa berteduh, atau setidaknya menepi pada altar-altar tinggi untuk menutupi tubuhnya. Seperti aku, saat semua orang sibuk sendiri dengan kepanasannya. Aku menyibukkan diri berteduh pada satu halte didepan sekolahku, sambil sesekali menoleh ke kanan menandai mobil yang akan membawaku sampai depan rumah.
Pukul 14.30 WIB. Saat matahari serasa membakar ubun-ubun, hati, pikiran dan seluruh tubuhku, aku menggerutu sambil memonyongkan bibirku karena satu jam lebih tak kudapati bus yang akan menjemputku pulang. Satu per satu teman dekatku menaiki bus jemputan masing-masing, dan tinggal aku sendiri dihalte bersama satu dua calon penumpang bus yang senasib denganku. Tiga puluh menit kemudian saat aku nyaris mengakhiri kesabaranku, bus biru cokelat itu menghampiriku. Aku menaikinya dengan perasaan kesal dan lega ketika satu penumpang mempersilahkan aku duduk dan menggeser tubuhnya memberikan space untukku. Seraya hatiku berdesir menyesakkan dada ketika ku tahu dia adalah alfa, seseorang yang setiap malam mempertanyakan aku setiap kali ku mengirim sms ke inbox-nya.
“maaf ini nomor siapa ya? Dikontakku gak ada”
Balasnya kesekian kalinya setiap aku sms dia. Lalu aku hanya bisa terdiam menatap layar ponselku. Mengetik namaku, ku hapus lagi, ku ketik lagi, lalu ku hapus kemudian, sesekali ku simpan di draft ponsel. Aku masih belum punya besar nyali untuk sekadar memberitahukan namaku.
Sepanjang perjalananku pulang, kami hanya saling diam. hemm,,, ya jelaslah kami kan tidak saling kenal. Tapi aku senang bisa duduk berdampingan dengannya meskipun tak ada kata. Sialnya aku turun lebih dulu dari dia. Jadi aku tak tahu dimana dia turun. Dan sialnya, itu sekali-kalinya aku pulang bareng dengannya. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mendapatinya satu bis denganku. Huftt,,,
Sesampainya dirumah, seusai membersihkan badan dan beristirahat dikamarku, aku memungut ponselku dari tas. Ku buka inbox dan ku baca sms-sms darinya, yang semua isinya hanya menanyakan siapa aku. Aku tersenyum-senyum sendiri membacanya. Haha, aneh sekali. Lalu ku cari-cari salah satu sms dari temanku.
“Mungkin bagi dunia kamu hanyalah seseorang, tapi bagi seseorang, mungkin kamu adalah dunianya”
Langsung aku send ke alfa. Lima belas menit kemudian, balasan yang sama seperti yang lalu. Entah... aku cukup merasa asik saja dengan ini semua. Ia yang tak bosan-bosan menanyakan siapa aku. Dan aku yang kuat menyembunyikan semuanya. Dan tak ada satu temankupun yang tahu tentang skandal ini. karena aku merahasiakannya dari teman-temanku, bahkan teman dekatku. Kalau aku sesekali berpapasan dengannya dikantin sekolah, aku tak pernah menunjukkan kehebohanku atas berontak senang hatiku. aku hanya terdiam dan selalu berpura-pura seolah tak ada apa-apa.
Suatu hari, saat semua kejadian ini berlangsung dua tahun. Aku kelas XI dan dia kelas XII. Aku nyaris terhipnotis keheranan dengan balasan sms dia.
“Semoga Tuhan memudahkan dan membuka pintu pertolongan untukmu saat ini, esok dan nanti”
Lalu dia membalas.
“Terimakasih divya, hari ini aku ujian, mohon doanya, doa senada untukmu”
Aku sontak terkaget ketika mendapati smsnya menyertakan namaku. Setelah itu, semua berubah hampir 360 derajat. Karena setiap kali aku mendapatinya disebuah sudut ruangan, jalan, atau persimpangan, sedetik kemudian aku langsung melenyapkan diri dari kemungkinan berhadapan dengannya. Kepengecutanku ini berlangsung selama berminggu-minggu sampai saat ku tahu, ternyata setengah taun terakhir ini dia sudah tahu segalanya. Tahu aku divya, tahusiapa aku dan pastinya tahu aku yang rajin inbox-in dia tiap malam pukul 20.00 WIB. Tapi dia tak menegurku dan tetap berpura-pura tidak tahu selama setengah tahun terakhir ini. Entah dari mana dia tahu itu nomorku. Dan ternyata diam-diam dia menanyakan hal itu kepada teman-teman dekatku, jelas saat itu justru malah temanku yang bertanya balik dan akhirnya alfalah yang bercerita semuanya. Pantas saja, setengah tahun terakhir ini aku menangkap gerak-gerik tengil teman-temanku. Justru malah kadang mereka yang tersenyum-senyum sendiri melihat adegan yang membuat mukaku seperti kepiting rebus saat bertemu dengan alfa.
