Selasa, 01 Januari 2013

Purnama di hari kelima belas


Bulan dihari kelima belas memang indah. kupinjam kata yang pernah ada untuk melukiskan keindahannya, namun tak kudapati. ku ambilkan sebuah kanvas untuk menggambarkan keelokannya, juga tak ku temui. kau tahu kawan..!? ketika purnama itu menemani malammu. Ketika ia menemani malam sepimu. kau duduk terdiam. menatapnya lamat-lamat lalu tersenyum. dan terangnya menembus kenanganmu ke beberapa tahun silam. bisa saja mengantarkanmu pada satu bingkai keceriaan. bisaa juga mengantarkanmu pada bingkai kesedihan. ah, seperti apapun, purnama malam ini indah. masih belum cukupkah hanya sekadar ku katakan indah. ketahuilah, sungguh aku kehabisan kata untuk melukiskan keindahannya. kalau kau tak percaya, berhentilah sampai titik ini. lalu kau buka pintu jendelamu. tengoklah cakrawala yang setengah menggelap diatas sana. kemudian tersenyumlah. bagaimana kau menggambarkan eloknya? apa sekadar kau bilang, bulat sempurna, bulan jingga yang rupawan, penerangan yang agung atau apa..!! ah, tak hanya sekadar itu. tapi lebih...

Bila saat ini dibawah purnama itu kau duduk sendiri terdiam memandanginya, dan kau menangis karena saat ini kau bersedih, ingatlah ketika bulan dihari kesepuluh sedang bersamamu. dia tersenyum menemanimu dan biasnya menghapuskan air matamu. cukup, ya cukup sekali saja, jangan kedua, ketiga atau berapa untuk menangis, cukup sekali saja.
***
"Ceritakan apa yang membuatmu menangis", katanya sambil menatapmu lamat-lamat.

 "Tidak ada apa-apa, biarkan aku saja yang tahu", tanpa kau balas tatapannya sesaat yang menyisakan tanda tanya baginya. sejenak membisu. tak ada suara. hanya ada kau dan dia yang saling terdiam. kau yang sesekali mengusap pipimu yang setitik basah karena airmata. dia yang tetap diam tak mengerti dan tak bisa mengartikan diammu. yang dia tahu pasti, kau hanya ingin bersamanya malam ini.

"Aku pulang saja, sebentar lagi mama pulang, aku gak mau nanti mama nyariin aku", alasanmu yang begitu sederhana untuknya.

"Mau aku antar?", tawarnya kemudian, yang baginya dia tahu, kau tak mau dipaksa.

 "Tidak usah, makasih kau juga pulang saja, kita pulang sendiri-sendiri saja"

"Ya sudah, hati-hati",tatapnya dengan setengah tak tega membiarkanmu sendirian melewati jalanan setapak yang sepi itu. lalu kau hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan dan senyum simpul. entah kau paksakan untuk tersenyum. ketahuilah kawan, benar kata dunia, ketika mulut tak mampu untuk berbicara, senyum cukup untuk mewakili semua jawaban bahwa ia tak mampu sekadar untuk mengungkapkannya. dia masih berdiri terpaku didekat sebuah beton yang beberapa menit lalu kau dan dia duduk bersama meski hanya saling diam. hingga siluetmu tak lagi nampak. lenyap bersama awan yang menggelap. kaupun berlalu.
***

Kini aku yang menatap purnama yang semakin sempurna parasnya. terdiam lalu tersenyum. memandanginya sekali lagi lebih lama. kemudian terpejam. kututup novel yang baru saja ku baca dan memberikan tanda pada halaman 43. sampai disini saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar